Minggu, 06 Maret 2011

Setan Atau Malaikat?



Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untukmenjadi "setan atau malaikat".–John Scheffer-


Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itumondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat dikeningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnyatak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkahlakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Maumerampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Sianghari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyakdiberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhanremaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingatperistiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendelarumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri.Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergiles Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, sayabisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampaitidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri disamping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menungguseseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untukbertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka sepertitadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yangsemakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, disamping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masihmelihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia iniyang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadiramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anakitu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah.Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung.Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisamelangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernahmelihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lamadi teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu danbergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki sayamasih lemas.
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan,entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktuitu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, sayahampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah danmondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya.Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan dikantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu,mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uangtiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bilabepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anakmuda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasiperekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telahdigenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memangtak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukansurat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidaklepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:
—–
"Ibu yang baik..., maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya maumengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, makasaya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampumembayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolahdan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikirtidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat sayasakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredarsembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualangoreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantumengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Sayamau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran,saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) sayangamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dansaya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap.Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belumpernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akanmau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambilmarah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Danbegitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emakmemarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mestibagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hatisaya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanyauntuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin seringtidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besartapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter.Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya,sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warungjajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup,saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapisaya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malahmembasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibumemasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatanpenyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Sayagembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu..., Emak malahmenatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnyaingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi sayatidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannyabegitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu..., tidakpernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak.Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya sayabisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perdulidengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidakperduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harusmengembalikan dompet Ibu. Maaf."
—–
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari sayamencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempatpuluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman.Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan,tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi suratdari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatuyang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengansegala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulangkunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkanoleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhirini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidakada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribusekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat sayaulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi sayaingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dansiangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. DiantarKang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada parapengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan keduaanak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dansaya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Tidak ada komentar: