Jumat, 14 Maret 2014

Kisah Anak Laki-Laki dan Anak Anjing Cacat

Di sebuah toko hewan yang menjual berbagai jenis anjing peliharaan, terpajang sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa ada beberapa anak anjing berusia sebulan yang siap dijual. Melihat pengumuman itu, seorang anak laki-laki, masuk ke dalam toko kemudian bertanya, “Berapa harga anak anjing yang Anda jual?” kemudian sang pemilik toko menjawab, “Satu anak anjing bisa diberi harga 500 ribu sampai 700 ribu rupiah,”

Anak laki-laki itu kemudian mengambil beberapa lembar uang yang ada di dalam saku celananya, “Uangku hanya lima puluh ribu, apakah aku boleh melihat-lihat anak anjing yang Anda jual?”

Pemilik toko anjing itu tersenyum dan tidak keberatan, dia segera bersiul dan muncul beberapa ekor anjing yang berlarian menuju sang pemilik toko. Dari beberapa ekor anak anjing tersebut, ada salah satu anak anjing yang berjalan sedikit pincang dan tertinggal di belakang. “Anak anjing itu kenapa?” tanya sang bocah.

Sang pemilik toko kemudian menjelaskan bahwa anak anjing itu memang mengalami cacat fisik sejak lahir, pada salah satu kaki belakangnya. “Kalau begitu, aku mau membeli anak anjing itu,” kata sang anak laki-laki.

“Aku sarankan agar kau tidak membeli anak anjing cacat itu, tetapi kalau kau menginginkannya, aku akan memberikan secara cuma-cuma,” ujar sang pemilik toko.

Wajah anak laki-laki itu tampak kecewa. “Aku tidak mau kalau Anda memberikan anak anjing itu secara cuma-cuma. Sekarang saya hanya punya uang lima puluh ribu, aku akan mencicil membayarnya dengan uang sakuku,” ujarnya dengan suara yang yakin dan mantap.

“Nak, kenapa kau ingin membeli anak anjing cacat itu? Dia tidak bisa berlari dengan cepat, tidak bisa melompat dengan gesit dan bermain seperti anak anjing lainnya,” ujar sang pemilik toko.

Setelah terdiam beberapa detik, anak laki-laki itu menarik ujung celana panjang yang dia pakai. Tampak sepasang kaki yang terbuat dari bahan metalik, sepasang kaki palsu. “Aku juga tidak bisa berlari dengan cepat, tidak bisa melompat dengan bebas seperti anak-anak lainnya. Karena itu aku tahu bagaimana rasanya, dan anak anjing itu membutuhkan seseorang yang mengerti bagaimana rasanya menjadi sosok yang–aku lebih suka menyebutnya spesial dibandingkan cacat,”

Pemilik toko langsung terharu dan mengatakan, “Aku akan berdoa agar anak-anak anjing yang lain bisa memiliki majikan sebaik dan sehebat dirimu, nak.”

Sahabat, apakah kalian pernah merasakan apa yang sebenarnya sahabat lihat dari orang-orang yang tak memiliki tubuh yang sempurna? Mereka memang tak sesempurna seperti kita, namun bagaimanapun fisik mereka, mereka tetap berusaha agar tak merepotkan orang lain. Mereka akan berusaha keras agar tak dipandang sebelah mata dan dikucilkan oleh lingkungan sekitar. Sesungguhnya mereka tak cacat, tapi mereka lebih spesial dari orang yang fisiknya sempurna


Nilai kemuliaan hidup bukanlah terletak pada status ataupun kelebihan yang kita miliki, melainkan pada apa yang kita lakukan berdasarkan pada Cinta Kasih Universal dalam diri kita.
Cinta yang mengerti dan menerima kekurangan.

"Keindahan fisik bukanlah jaminan keindahan batinnya"

Rabu, 12 Maret 2014

Bermental seperti Pengemis atau Berusaha ?



Demikianlah cerita sederhanaku : 

Saya pernah melakukan live in tinggal sama pengemis, saya disuruh juga mencari uang dengan cara apapun dan saya pun memilih mengemis sama seperti yang dilakukan oleh mereka. Tanpa ada uang sepersenpun yang saya punya didompet karena selama live in kita dilarang untuk menggunakan uang hasil orang tua kita, harus dari hasil kerja keras kita. Dan pada saat itu saya terkejut dengan satu anak kecil, padahal dia memakai baju yang lusuh bahkan lebih jelek dari saya miliki dan saya heran kenapa dia bisa membagi-bagi makanan. Pertama-tama saya berasumsi bahwa ada orang kaya yang membagi-bagi makanan untuknya dan kami, rupanya makanan itu hasil dari kerja kerasnya sendiri. Saya benar-benar dibuat salut olehnya. Kemudian saya telusuri lagi bagaimana dia mencari uang, kemudian saya pun tertegun melihat dia berkerja menjadi pembersih kap mobil, jualan kue, dan pembersih pantopel(sepatu) serta ia pun sangat rajin sekali bersembayang ditempat ibadahnya. Kemudian saya sadar selama ini saya punya mental pengemis alias mau cari instan saya dalam berupaya, seharusnya saya lebih tahu makna dari saya melakukan live in ini yaitu menghargai sesama kita baik dalam pemikiran dan perbuatan kita (berempati). Saya benar-benar keliru dalam berupaya sebelum saya melihat anak kecil tersebut, seharusnya saya bisa seperti anak kecil tersebut, bilapun saya dalam kesusahan kita masih bisa dan mesti menggunakan panca indera kita selama itu berfungsi dengan baik dan menggunakan otak dan pikiran kita dengan matang dalam berupaya. Pasti kita lebih tahu makna dari empati dari melakukan live in ataupun aktivitas-aktivitas lain yang berupaya mengembangkan nilai-nilai moralitas kita. Kesimpulannya janganlah bermental seperti pengemis tapi berusahalah, anda itu masih memiliki kelengkapan dari mereka-mereka yang tidak mampu untuk berutinitas seperti yang bisa kita lakukan. Ayo kita lebih bersemangat dari sekarang!

Live in : acara dimana kita dijauhkan dari kehidupan rutin yang cukup menyenangkan selama ini kita lakukan dengan cara tinggal dengan orang yang lebih tidak mampu dari kita dan kita diminta untuk menjadi bagian dari keluarga secara sementara untuk mengaca diri kita selama ini.